Toph (Drum)
Kata תֹּף di dalam Alkitab diterjemahkan menggunakan kata tambourine[1] dan rebana dalam terjemahan Indonesia. Dalam Bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah τύμπανον (tumpanon) dan tympanum dalam bahasa Latin. Instrumen ini sudah digunakan sejak zaman kuno dan dimainkan dengan tangan kosong dan didekatkan pada dada atau setingkat dengan posisi kepala. Tof memiliki membrane di kedua sisinya.[2] Namun, Smith berpendapat sebenarnya terjemahan tambourine atau timbrels sebenarnya kurang memuaskan: tamborin mengindikasikan alat tersebut memiliki jingles dan tidak memiliki kulit di bagian atasnya yang menjadi tempat untuk dipukul oleh tangan dan terjemahan timbrels terkesan archaic.[3] Bentuk tamborin modern yang dipahami sekarang memang tidak memakai kulit pada bagian atasnya dan memiliki jingles di sekitar bagian sampingnya. Tampaknya Smith menganggap hand drum tersebut memang sangat mirip dengan bentuk snare drum dari drum yang modern saat ini.
Instrumen tof diyakini berasal dari penduduk semitic dan kemudian menyebar ke Mesir, lalu Yunani dan juga Roma.[4] Di daerah Timur Dekat Kuno dan mediterania, hand drum tersebut digunakan dalam berbagai ritual dan sebagian besar berhubungan dengan penyembahan kepada dewa-dewi di kuil, prosesi keagamaan, dan tarian sakral yang berhubungan konteksnya dengan kesuburan.[5] Pada abad ke-5 SM, para wanita Yunani juga menggunakan tympana dan menari dengan telanjangdalam ritual kesuburan yang didedikasikan kepada Cybele dan Bacchus.[6] Fenomena yang serupa juga dapat ditemukan di dalam berbagai bagian Perjanjian Lama, kata תֹּף muncul dan diterjemahkan dengan kata tambourine (Hak. 11:34; 1 Sam. 10:5; 18:6; 2 Sam. 6:5; 1 Taw. 13:8; Yes. 5:12; 24:8) dan timbrel (Kej. 31:27; Kel. 15:20; Mzm. 81:2; 149:3). Pada masa bangsa Israel keluar dari Mesir, Alkitab menceritakan Miryam bersama para perempuan menari sambil memukul rebana dan kata yang digunakan untuk rebana itu adalah toph/hand drum.[7] Tampaknya perayaan dan tarian dari Miryam ini merupakan rujukan pertama yang dapat kita temukan mengenai penggunaan instrumen tersebut.
Sama seperti konteks penggunaan tof dengan Timur Dekat Kuno, penggunaan instrumen ini juga adalah untuk menaikkan pujian kepada Allah. Miryam dan para perempuan menari dan bernyanyi menggunakan tof sebagai pujian kepada Allah, karena Allah telah melakukan perbuatan besar bagi bangsa Israel dengan mengeluarkan mereka dari Mesir dan mengalahkan pasukan Firaun yang mengejar mereka sampai ke laut Teberau (Kel. 15:20-21).
Pemujaan kepada Tuhan juga dapat ditemukan di dalam Ayub: “Mereka bernyanyi-nyanyi dengan iringan rebana dan kecapi, dan bersukaria menurut lagu seruling” (21:12) dan juga Yesaya mengatakan, “kegirangan suara rebana sudah berhenti, keramaian orang-orang yang beria-ria sudah diam, dan kegirangan suara kecapi sudah berhenti” (24:8). Di dalam kitab Mazmur, cukup banyak ditemukan penggunaan tof oleh para pemazmur sebagai instrumen yang mengiringi pujian kepada Allah bersamaan dengan instrumen lain, misalnya pasal 68:26 “Di depan berjalan penyanyi-penyanyi, di belakang pemetik-pemetik kecapi, di tengah-tengah dayang-dayang yang memalu rebana”; 81:3 “Angkatlah lagu, bunyikanlah rebana, kecapi yang merdu, diiringi gambus”; 149:3 “Biarlah mereka memuji-muji nama-Nya dengan tari-tarian, biarlah mereka bermazmur kepada-Nya dengan rebana dan kecapi!”; dan 150:4 “Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling.”
Pergeseran pandangan terhadap tof terjadi di abad-abad awal sebelum kekristenan muncul dan abad pertengahan, instrumen drum lebih dikenal sebagai instrument yang digunakan dalam konteks penyembahan dewa-dewi Yunani, yang padahal jauh sebelum masa itu, drum memang digunakan untuk tujuan pemujaan ilah-ilah di Timur Dekat Kuno. Akan tetapi, dunia awal kekristenan sangat terfokus kepada penggunaan tof untuk pemujaan di dalam tradisi pagan Yunani, sehingga terjadi pergeseran pemaknaan atas instrumen ini, yaitu drum dianggap buruk dan dilarang penggunaannya di dalam ibadah.[8] Apalagi, pada umumnya tof memang digunakan sebagian besar oleh perempuan, baik dari kebudayaan Timur Dekat Kuno, maupun Yunani.[9] Pada saat itu penafsiran atas berbagai instrumen musik yang terdapat di dalam Alkitab menjadi tafsiran yang alegoris oleh bapa-bapa gereja, misalnya kata psalterium yang diterjemahkan sebagai gambus diartikan sebagai “jiwa”dan kithara yang diterjemahkan sebagai kecapi ditafsirkan sebagai “tubuh”, seperti yang McKinnon katakan:
Beginning with Origen virtually every major Church Father composed a psalm commentary; and during the middle ages the Book of Psalms remained the favorite Old Testament subject among exegetes. In writing a commentary the standard procedure was to work one’s way through the entire I50 Psalms, quoting them verse by verse and setting down an allegorical commentary on each verse. There are several psalms which mention instruments,13 and when the commentator arrived at a verse such as “Awake psalterium and kithara” (Ps. 56: 9), he might com- ment: “The psalterium is the soul, the kithara the body,” as did Pseudo- Athanasius in the above-quoted passage.”[10]
Philo (20 SM – 50 M) juga menunjukkan ketidaksukaannya terhadap perayaan pagan pada saat itu yang menggunakan flute, kithara, tympanoi, dan cymbal hanya sebagai pemuasan jasmani.[11] Athanasius juga merupakan salah satu bapa gereja yang menafsirkan alat musik di dalam Mazmur dengan alegoris. Di dalam tafsirannya terhadap Mazmur 80:3 mengenai drum, ia mengatakan:
Take up a psalm and bring hither the tympanon. The psalm signifies this, divine doctrine; the tympanon, however, is an instrument made from skin. It is said, therefore, that obeying the divine sayings you offer^your bodies as a living sacrifice, pleasing to God.
Agustinus dengan penafsiran alegorisnya juga menafsirkan tympanon:
The tympanon praises God, since now in the transformed flesh there is no weakness of earthly corruption. The tympanon is made from skin that has been dried out and strengthened.[12]
Para bapa gereja dan pemimpin kekristenan awal pada akhirnya menolak penggunaan drum dengan beberapa alasan: pertama, para pemuja dewa Yunani menggunakan drum di dalam ibadah mereka yang ekstatik, yang justru ditentang oleh kekristenan pada saat itu; kedua, drum diasosiasikan sejak dahulu dengan ibadah kesuburan dan itu berarti tidak lepas dari membangkitkan hasrat seksual, yang juga sangat dihindari oleh bapa-bapa gereja.[13] Tafsiran-tafsiran tersebut menunjukkan bahwa sejak awal-awal kekristenan, instrumen drum sudah dinilai “tidak kudus” untuk digunakan di dalam peribadatan gereja, sehingga jika ditelusuri, gereja abad pertengahan lebih memilih untuk bernyanyi saja tanpa iringan alat musik apapun, seperti Gregorian Chant.
Tslatsal (Cymbal)
Kata צְלָצַל diterjemahkan sebagai cymbal dalam terjemahan Inggris, baik di PL maupun di Perjanjian Baru (1 Kor. 13:1) dan di dalam bahasa Yunani dengan kymbalon, seperti di dalam Mazmur versi LXX. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “ceracap.” Instrumen ini banyak sekali digunakan sepanjang perjalanan hidup bangsa Israel dari zaman ke zaman. Di dalam PL, kata ini pertama kali ditemukan di dalam 2 Samuel 6:5, ketika Daud dan rakyat menari-nari sambal mengiringi tabut perjanjian: “Daud dan seluruh kaum Israel menari-nari di hadapan TUHAN dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian, kecapi, gambus, rebana, kelentung dan ceracap.” Sehubungan dengan persiapan membawa tabut, di dalam 1 Tawarikh dikatakan Heman, Asaf, dan Etan harus memperdengarkan lagu dengan ceracap tembaga (15:19). Juga di Mazmur 150:5, Daud mengajak: “Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!” Ketika Hizkia naik takhta, ia memerintahkan para imam Lewi untuk memainkan cymbals – בִּמְצִלְתַּיִם, gambus, dan kecapi (2 Taw. 29:25). Instrumen ini juga digunakan ketika para pekerja meletakkan dasar Bait Suci ke-2 oleh para orang-orang Lewi dari bani Asaf: “Pada waktu dasar bait suci TUHAN diletakkan oleh tukang-tukang bangunan, maka tampillah para imam dengan memakai pakaian jabatan dan membawa nafiri, dan orang-orang Lewi, bani Asaf, dengan membawa ceracap, untuk memuji-muji TUHAN, menurut petunjuk Daud, raja Israel.” Kitab Judith yang masuk ke dalam LXX juga mencatat bahwa Judith mengajak umat untuk memuji Tuhan menggunakan tambourine dan cymbal, “Strike up a song to my God with tambourines, sing to the Lord with cymbals; Improvise for him a new song, exalt and acclaim his name.”[14]
Alkitab tidak mencatat bagaimana bentuk sebenarnya dari setiap alat musik yang disebutkan, termasuk bagaimana bentuk dari tslatsal. Arakhin, salah satu bagian dari kodashim[15] mencatat terdapat cymbal di dalam bait suci dan terbuat dari tembaga.[16] Josephus mendeskripsikan cymbal yang digunakan di dalam bait suci sebagai isntrumen yang lebar dan besar, dan terbuat dari brass.[17] Stainer menjelaskan instrumen ini berbeda secara ukuran dan bentuk di setiap daerahnya, tetapi arkeologi menunjukkan cymbal secara umum pada masa itu mirip seperti piringan mangkuk sup pada masa modern, tetapi memiliki handle di bagian bawahnya.[18] Cymbal dimainkan berpasangan dan dibenturkan satu sama lain dengan satu cymbal di tangan kanan dan satunya di tangan kiri. Di Mesir juga menggunakan cymbal yang berbahan tembaga dan sedikit campuran dari perak dan alat ini berhasil ditemukan di sebuah makam seorang musisi pada masa Mesir kuno bernama Ankhape.[19] Pada Mazmur 150 : 5, Daud mengajak umat untuk memuji Tuhan dengan menyebut instrument tslatsal sebanyak dua kali, yang tampaknya berbeda secara bunyi:
הַֽלְלוּהוּ בְצִלְצְלֵי־שָׁמַע הַֽלְלוּהוּ בְּֽצִלְצְלֵי תְרוּעָֽה׃ – Haleluhu betslatsale syama, haleluhu betslatsale teruah
Kalimat tersebut dapat diterjemahkan, “Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!” Pertama disebutkan “ceracap yang berdenting” dan kedua “ceracap yang berdentang.” Versi King James Version menerjemahkan, “Praise him upon the loud cymbals: praise him upon the high-sounding cymbals.” Young berargumen bahwa pengulangan kata cymbaltersebut tidak menunjukkan Daud merujuk kepada dua cymbal yang berbeda, tetapi merupakan semacam penekanan dalam bahasa puitis.[20] Di dalam beberapa ayat lain dapat ditemukan pengulangan yang serupa, seperti di dalam 2 Samuel 22:7, “When I am in distress I call to YHWH; And to my God I call.” Kata YHWH dan God di ayat tersebut tidak berarti Daud memanggil Tuhan dua kali atau ada dua Allah. Mazmur 18:7 juga menunjukkan hal yang sama: “When I am in distress I call to YHWH; And to my God I cry out.” Kata call dan cry out sebenarnya merujuk sebuah aktivitas yang sama. Stainer berpendapat lain, menurutnya kemungkinan memang terdapat dua jenis cymbals yang berbeda dan ia merujuk kepada jenis-jenis cymbal yang terdapat di Arab. Penulis berpendapat keduanya punya potensi kebenaran, karena selain ayat di dalam Mazmur 150 tesebut, tidak ditemukan ayat yang memisahkan bunyi cymbals berdasar ukuran dan warna bunyi. Tentu saja berbeda ukuran akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan.
Tampaknya ayat-ayat PL tersebut tidak menunjukkan tslatsal dipakai secara umum untuk mengiringi tarian. Berbeda dengan tradisi Yunani dan Romawi, cymbal juga dipakai dalam ritual penyembahan kepada Bacchus, Juno, dan Cybele, sama seperti tympanon.[21] Dalam pertunjukan drama tradisi Yunani, dewa Dionysos digambarkan memainkan tympanon dan para pengikutnya, baik pria dan Wanita, ditampilkan juga bermain tympanon dan kymbalon.[22]
Sama seperti tympanon, para bapa gereja menafsirkan cymbal secara alegoris. Agustinus menafsirkan cymbal sama seperti mulut umat yang digunakan untuk memuji Tuhan dan juga memuji, serta honouring saudara seiman.[23] Tampaknya kata honour dimaksudkan Agustinus sebagai umat yang berkata-kata hal-hal yang baik antar satu dengan yang lainnya dan dengan demikian orang tersebut juga sedang menghormati dan memuji Allah.
Selain menafsirkan secara alegoris, para bapa gereja juga menunjukkan disagreement terhadap cymbals jika digunakan sebagai alat musik dalam ibadah orang Kristen, karena mereka mengasosiasikannya dengan ritual yang dilakukan oleh orang Yunani untuk dewa-dewi. Philo mengatakan:
“…flutes and citharas, the sound of timpanoi and cymbals and other effeminate and frivolous music of every kind, enkindling unbridled lust, with the help of the sense of hearing.”[24]
Honorius of Autun (1130 M) menafsirkan cymbal sebagai instrument yang telah melewati api, sehingga mirip dengan orang-orang kudus yang telah melwati berbagai pencobaan dan akhirnya bersinar seperti matahari dan menjadi pujian bagi Tuhan.[25]
Untuk artikel secara lengkap dapat dibaca di artikel saya yang telah terbit dengan judul PENGGUNAAN INSTRUMEN DRUM DI DALAM IBADAH: KAJIAN KATA TSLATSAL DAN TOPH DALAM MAZMUR 150 di https://jurnalvow.sttwmi.ac.id/index.php/jvow/article/view/164.
[1] Versi ESV, NET, NASB, AMP menggunakan kata tambourine dan hanya KJV yang menggunakan kata timbrel.
[2] Mauricio Molina, “Tympanum Tuum Cybele : Pagan Use and Christian Transformation of a Cultic Greco-Roman Percussion Instrument,” Moysiké= Musica En El Món Antic I El Món Antic En La Música, 2014, 51–69.; Mathiesen juga berpendapat hand drum pada masa kuno memiliki membran dikedua sisinya, lihat Thomas J. Mathiesen, Apollo’s Lyre: Greek Music and Music Theory in Antiquity and the Middle Ages (Lincoln: University of Nebraska Press, 1999), 174-5.
[3] John Arthur Smith, Music in Ancient Judaism and Early (Farnham: Ashgate Publishing Limited, 2011), 53. Friedman juga menerjemahkan sebagai timbrel, lihat Jonathan L. Friedmann, Music in Biblical Life: The Role of Song in Ancient Israel (North Carolina: McFarland & Company, Inc., Publishers, 2013), 53.
[4] James William McKinnon, “The Church Fathers and Musical Instruments” (Disertasi dari Columbia University, 1967), 73.
[5] Mauricio Molina, “Tympanum tuum Cybele,” 52.
[6] Untuk penggunaan tympana dalam tarian ritual Yunani, lihat Bonnie MacLachlan, Women in Ancient Greece (London: Continuum International Publishing Group, 2012).
[7] Smith, Music in Ancient Judaism and Early, 50
[8] Mauricio Molina, “In Tympano Rex Noster Tympanizavit”: Frame Drums As Messianic Symbols In Medieval Spanish Representations Of The Twenty-Four Elders Of The Apocalypse,” Music in Art XXXII/1–2 (2007): 98.
[9] Jonathan L. Friedmann, Music in Biblical Life: The Role of Song in Ancient Israel (North Carolina: McFarland & Company, Inc., Publishers, 2013), 56.
[10] James W. McKinnon, “Musical Instruments in Medieval Psalm Commentaries and Psalters,” Journal of the American Musicological Society, 21, no. 1 (Spring, 1968): 6.
[11] Mauricio Molina, “Tympanum tuum Cybele,” 62.
[12] Augustine, Expositions on the Book of Psalms, terj. John Henry Parker (London: Monergism, 1847), 150.7.
[13] Mauricio Molina, “Tympanum tuum Cybele,” 63.
[14] https://bible.usccb.org/bible/judith/16 (diakses 18 April 2022).
[15] Kodashim merupakan salah satu dari six orders of Mishnah.
[16] https://www.sefaria.org/Arakhin.10b.11?ven=William_Davidson_Edition_-_English&vhe=Wikisource_Talmud_Bavli&lang=bi (diakses 18 April 2022).
[17] Josephus, Antiquities of the Jews, VII:12:3, https://penelope.uchicago.edu/josephus/ant-7.html.
[18] John Stainer, The Music of the Bible: With Some Account Of The Development Of Modern Musical Instruments From Ancient Types (New York: Da Capo Press, 1970), 167.
[19] Stainer, The Music of the Bible, 167.
[20] Untuk lebih jelas, lihat Anathea Portier-Young, “Tongues and Cymbals: Contextualizing 1 Corinthians 13:1,” Biblical Theology Bulletin (2005): 2; John Stainer, The Music of the Bible: With Some Account of The Development Of Modern Musical Instruments From Ancient Types (New York: Da Capo Press, 1970); Joshua Jacobson, “Decoding the Secrets of the Psalms,” Choral Journal 56, no. 7 .
[21] Stainer, The Music of the Bible, 170
[22] Untuk pembahasan instrument drum dan cymbal, lihat Layne Redmond, “Percussion Instruments of Ancient Greece.”
[23] Augustine, Expositions on the Book of Psalms, 150.8.
[24] De specialibus legibus 2:193 dalam Mauricio Molina, “Tympanum tuum Cybele,” 62.
[25] McKinnon, “Musical Instruments in Medieval Psalm Commentaries and Psalters,” 240.
Leave a Reply