“Mengapa ada banyak agama di dunia ini ya? Bukannya Tuhannya sama aja?” Pertanyaan tersebut yang mungkin ada dalam benak banyak orang. Memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kalau benar-benar Allah yang menciptakan hanya satu, mengapa bisa begitu banyak agama di dunia ini? Tapi apakah benar “allah” itu hanya satu? Bagi Kristen, Katolik, Yudaisme, dan Islam mungkin bisa dengan tegas mengatakan “ya”, tapi saudara-saudara kita dari Hindu, Buddha, Tao, dan agama-agama lain akan mengatakan tidak setuju. Di dalam Hinduisme, dewa yang disembah begitu banyak, Brahma, Wisnu, Shiva, Ganesha, Parvati, Lakshmi, Agni, Usha, dan masih banyak manifestasinya yang lain (berkenaan juga aliran di dalam Hinduisme yang mana). Sedangkan Buddhisme secara garis besar tidak meyakini adanya “pribadi” yang disebut sebagai “tuhan”. Tao meyakini bahwa kebenaran utama di alam semesta ini adalah “Tao” itu sendiri, tapi Lao Zi sendiri tidak mengetahui dengan pasti apakah “Tao” ini berupa pribadi atau bukan. Untuk mengetahui dengan pasti, silahkan membaca sendiri Tao De Jing yang adalah kitab agama Tao yang ditulis oleh Lao Zi sendiri sekitar 2700 tahun yang lalu. Jadi bagaimana? Apa asal-usulnya agama bisa begitu banyak bermunculan sepanjang sejarah manusia? Saya tidak mungkin membahas secara luas dari berbagai pandangan, karena memang saya yakin setiap agama memiliki pandangannya sendiri, baik agama formal atau “agama” dalam pengertian seperti ateisme yang merupakan sebuah keyakinan. Misalnya saja seperti Feurbach, seorang filsuf ateis yang meyakini bahwa agama hanyalah hasil “proyeksi” hakikat atau pembentukan dari pikiran manusia yang terasing hidupnya. Manusia hanya menyembah ciptaannya sendiri yang mereka anggap “allah”, padahal bukan. Saya hanya akan membahas dari “kacamata” Kristiani, sekalipun tetap tidak terlepas dari aspek-aspek bidang lainnya. Semoga ini dapat melengkapi orang-orang Kristen untuk membela imannya dalam memberi jawaban terhadap orang lain.
Secara teologis, Allah mewahyukan dirinya secara umum dan khusus. “Mewahyukan” artinya “membuka selubung” atau dengan kata lain “menyatakan diri.” Pewahyuan khusus berarti Allah menyatakan diri secara khusus dan tidak untuk semua orang. Contoh wahyu khusus adalah Yesus Kristus dan Alkitab. Sedangkan, pewahyuan umum mencakup segala ciptaan Allah yang ada di alam semesta ini, seperti matahari, bulan, bumi, pohon, udara, sel manusia, hati nurani manusia, dan manusia itu sendiri. Seluruh ciptaan ini sebenarnya dimaksudkan agar manusia tahu bahwa Allah itu ada di balik ini semua dan mereka tidak bisa berdalih, seperti yang ditulis dalam kitab Roma 1:19-20:
“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”
Jadi, kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada orang yang ateis, karena Allah itu ada. Sudah sangat jelas kalau kita melihat betapa besar, panas, dan teraturnya matahari, kita akan mengetahui bahwa itu tidak mungkin tercipta sendiri begitu saja, pasti ada kekuatan lain di luar manusia yang menciptakannya. Begitu kita melihat indahnya laut dengan segala keluasan dan kedalamannya, kita tahu bahwa ada yang membuatnya. Ketika kita naik ke atas gunung dan melihat sekitarnya, akal kita akan mengetahui ada designer yang melukis indahnya langit. Kekuatan, pencipta, atau designer itu pasti lebih hebat dari ciptaannya, karena tidak mungkin ciptaan dan penciptanya memiliki natur yang sama: pencipta pasti lebih pintar dan lebih hebat dari hasil ciptaan. Sama seperti manusia menciptakan robot, tidak mungkin sebuah robot punya natur yang sama dengan manusia. Robot sepintar apapun tidak akan lebih pintar dari yang menciptakannya. Begitu juga dengan pencipta, siapapun yang menciptakan alam semesta ini, pasti berada di atas dari semuanya, dan kita bisa katakan pribadi itu adalah “Allah”. Orang ateis lebih tepatnya tidak mau kalau Allah ada.
Nah, pendeta Stephen Tong mengatakan bahwa wahyu umum ini kemudian direspon oleh manusia. Respon manusia terhadap wahyu umum ini ada dua macam: secara internal dan eksternal:
Secara eksternal, artinya secara luar, respon tersebut menghasilkan budaya. Makanya kita melihat kebudayaan begitu berbeda di berbagai daerah dan belahan dunia, karena setiap orang atau kelompok akan merespon secara berbeda. Pakaian, bahasa, dan kesopanan orang Bali dengan Batak berbeda, Papua dengan Aceh juga beda. Di dalam budaya ada seni, di dalamnya seni tari, pahat, lukisan, dan musik juga termasuk. Jadi, kita dapat katakan bahwa musik adalah salah satu bentuk respon manusia terhadap wahyu umum Allah juga.
Secara internal, artinya secara batin, respon inilah yang kita sebut sebagai agama. Agama merupakan cara manusia mendekat kepada “allah” atau apapun konsep ultimat yang mereka yakini. Keith Yandell mengatakan secara umum kita bisa membagi agama menjadi dua, yaitu formal religion dan folk religion. Formal Religion merupakan agama yang memiliki unsur-unsur yang lengkap, seperti doktrin, institusi, kitab suci, dan otoritas, sedangkan folk religion hanya sekedar kepercayaan di mana penganutnya begitu tertarik kepada institusi dan doktrin yang sistematis. Folk Religion biasanya dianut oleh orang-orang di suku pedalaman. Ninian Smart memberikan saran agar kita dapat membayangkan agama di dalam 7 dimensi atau hal-hal apa saja yang ada di dalam sebuah agama pada umumnya: ritual, narasi/mitologis, doktrinal, etika, institusional/sosial, eksperensial, dan material.
Selama ribuan tahun, manusia menganggap bahwa alam semesta memiliki kekuatan yang begitu dasyat dan selalu dihubungkan dengan pribadi yang ada dibaliknya, sehingga manusia harus tunduk kepadanya. Makanya jangan heran, ketika mendengar kilat petir yang begitu mengerikan, mereka langsung menganggap ada dewa petir; Matahari yang begitu besar dan panas, disembah sebagai dewa matahari; Bumi yang begitu luas, mampu bergetar dan menghukum sebagian orang sampai mati dengan gempanya, dianggap ada dewa bumi, dsb. Padahal di dalam Kekristenan, posisi manusia jelas berada di atas alam dan hal ini ditulis di dalam Kejadian 1:28, bahwa manusia diperintahkan untuk memenuhi bumi dan menaklukannya. Lalu, mengapa bisa demikian responnya? Ini disebabkan karena manusia adalah manusia yang berdosa, sehingga responnya dapat berlainan, terbatas, dan terpengaruh oleh dosa. Dosa di dalam manusia tidak hanya berbicara mengenai moralitas, tetapi seluruh aspek hidup manusia sudah tercemar dengan dosa. Pikiran kita penuh dengan kejahatan, hati kita juga. Padahal diharapkan dengan wahyu umum ini, manusia dapat mengetahui ada Allah, tapi karena dosa tersebut, maka manusia malah memberontak terhadap Allah. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa agama adalah “pelarian manusia dari Allah yang benar.” Kecenderungan hati manusia adalah menjadi allah atas dirinya sendiri dan dengan demikian, ia merasa berhak memilih mana saja yang dapat dianggap sebagai “allah” untuk memuaskan dan menyenangkan dirinya sendiri yang sedang terasing dalam kehidupan ini. Nah, respon inilah yang menyebabkan setiap manusia memandang wahyu umum yang sama, tetapi berespon secara berbeda, sehingga terciptalah agama-agama di dunia sampai hari ini, dengan segala atribut dan isinya seperti yang disebutkan oleh Yandell dan Ninian Smart.
Mungkin kalian akan tanya “kalau begitu, wahyu umumnya salah dong?” Tidak, wahyu umum tidaklah salah, respon manusianya yang salah! Ingat, agama bukanlah wahyu umum itu sendiri, tetapi respon terhadap wahyu tersebut. Oleh karena itu, apa yang dikemukakan oleh Feurbach (walaupun banyak kelemahan dari kritiknya terhadap agama), bahwa agama yang di dalamnya ada konsep Allah, malaikat, surga, dan sebagainya, hanyalah ciptaan pikiran manusia sendiri ada benarnya juga
Jadi, apakah semua agama adalah ciptaan manusia sendiri? Mungkin beberapa agama akan keberatan dengan kesimpulan ini, karena beberapa agama mengaku bahwa agamanya adalah hasil wahyu Tuhan sendiri kepada mereka, seperti yang dikenal dalam Kristen, Yahudi, dan Islam, bahkan Hinduisme sendiri sedikit banyak memiliki konsep pewahyuan dewa kepada beberapa sages (orang bijak/suci)di zaman dahulu, sehingga dapat tercipta kitab-kitab suci seperti veda. Namun, di dalam Kekristenan mengakui bahwa Allah yang mewahyukan diri-Nya kepada manusia di sepanjang sejarah, puncaknya adalah kematian Kristus bagi dosa manusia dan terbentuknya Alkitab sebagai Firman-Nya yang tertulis bagi orang percaya. Kekristenan bukanlah agama, tetapi cara hidup. Kristen sebagai agama adalah “ya” secara sosiologis, tetapi lebih dari itu, Kristen adalah pengikut-pengikut Kristus. Pada tulisan berikutnya saya baru akan membahas bagaimana cara kita mengetahui mana agama yang benar dan apakah masuk akal mempercayai bahwa semua agama itu sama. Pada tulisan ini cukup bagi kita untuk mengetahui bagaimana Kekristenan memandang terbentuknya agama-agama yang ada di dunia, bahwa respon manusialah yang menggambarkan sosok pribadi yang disebut sebagai “allah”, ritual, kitab suci, malaikat, dewa-dewi, tempat ibadah, barang-barang keramat, surga, nirwana, dsb. Tunggu tulisan berikutnya!