Musik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, yang artinya sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Musik digunakan di dalam banyak situasi, baik untuk hiburan semata, opening ceremony dalam sebuah acara, ritual ibadah, bisnis, pembelajaran di dalam pendidikan, dsb. Apalagi di dalam sebuah ritual agama. Sepertinya tidak ada satu agamapun di dunia ini yang ritualnya tidak menggunakan musik ataupun nyanyian. Bagi para penganut agama, terutama agama-agama pagan, musik adalah “anugerah” dari para dewa yang diberikan kepada manusia dan dipakai oleh manusia itu sendiri untuk menyembah dewa-dewa tersebut.
Sepanjang sejarah, terdapat berbagai definisi dari musik itu sendiri. Para filsuf Yunani punya definisinya sendiri tentang musik, Confucius juga punya definisi mengenai musik sesuai dengan kebudayaan Cina dahulu, gereja abad pertengahan punya definisi sendiri, begitu juga orang muslim di Arab, orang Yahudi, orang di zaman Barok, Klasik, Romantik, Impresionists, musisi kontemporer, dan sebagainya. Orang klasik menganggap musik yang dimainkan orang kontemporer awal abad ke-20 bukanlah musik, tapi hanya bunyi-bunyian yang tidak beraturan, bahkan dianggap sampah bagi sebagian orang. Musik ragtime di masa kejayaannya tahun 1890an juga dicela, begitu juga musik Jazz di abad 20 yang berkonotasi negatif. Musik rock tahun 60an yang dipopulerkan oleh The Beatles dan oleh musisi Inggris lainnya di Amerika atau yang kita kenal zaman itu dengan British Invasion, dianggap sebagai bukan musik, musik setan, hanya bunyi-bunyian pemberontakan, berkenaan dengan kaum hippies di Amerika dan juga berbagai pemberontakan di belahan dunia Eropa oleh gerakan kiri baru. Wah, kalau disebutkan satu-satu perdebatan yang mana musik yang mana tidak, tulisan ini akan jadi satu skripsi. Bahkan waktu pertama-tama musik EDM dan K-Pop begitu popular, sebagian musisi merasa skeptis apakah ini bisa disebut musik. Jadi musik itu apa? Apakah ukuran sesuatu itu dapat disebut musik atau tidak? Apakah benar musik-musik atonal dari Debussy, Bartok, dan Stravinsky bukan musik? Tentu saja permasalahan ini sangat luas. Saya akan membahasnya dari sudut pandang wawasan dunia Kristen dan juga filosofisnya.
Secara teologis, Allah mewahyukan dirinya secara umum dan khusus. “Mewahyukan” artinya “membuka selubung” atau dengan kata lain “menyatakan diri.” Pewahyuan khusus berarti Allah menyatakan diri secara khusus dan tidak untuk semua orang. Contoh wahyu khusus adalah Yesus Kristus dan Alkitab. Sedangkan, pewahyuan umum mencakup segala ciptaan Allah di alam semesta ini, seperti matahari, bulan, bumi, pohon, udara, sel manusia, hati nurani manusia, dan manusia itu sendiri. Ciptaan ini dimaksudkan agar manusia tahu bahwa ada Allah di balik ini semua dan mereka tidak bisa berdalih, seperti yang ditulis dalam kitab Roma 1:19-20:
“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”
Jadi, sebenarnya tidak ada orang ateis, karena Allah itu ada. Sekali orang melihat betapa hebat, panasnya, dan teraturnya matahari, mereka akan mengetahui bahwa itu tidak mungkin tercipta sendiri begitu saja, pasti ada kekuatan lain di luar manusia yang menciptakannya. Begitu kita melihat indahnya laut dengan segala keluasan dan kedalamannya, kita tahu bahwa ada yang membuatnya. Ketika kita naik ke atas gunung dan melihat sekitarnya, akal kita akan mengetahui ada designer yang melukis indahnya langit. Kekuatan, pencipta, atau designer itu pasti lebih hebat dari ciptaannya, karena tidak mungkin ciptaan dan penciptanya memiliki natur yang sama: pencipta pasti lebih pintar dan hebat dari hasil ciptaan. Sama seperti manusia menciptakan robot, tidak mungkin robot punya natur yang sama dengan manusia. Robot sepintar apapun tidak akan lebih pintar dari yang menciptakan. Begitu juga dengan pencipta, siapapun yang menciptakan alam semesta ini, pasti berada di atas dari semuanya, dan kita bisa katakan pribadi itu adalah Allah. Orang ateis lebih tepatnya tidak mau kalau Allah ada.
Nah, pendeta Stephen Tong mengatakan wahyu umum ini kemudian direspon oleh manusia dan karena manusia adalah manusia yang berdosa, sehingga responnya dapat berlainan, terbatas, dan terpengaruh oleh dosa. Padahal diharapkan dengan wahyu umum ini, manusia dapat mengetahui ada Allah, tapi karena dosa tersebut, maka manusia malah memberontak terhadap Allah. Respon manusia terhadap wahyu umum ini ada dua macam: secara internal dan eksternal. Secara internal, artinya secara batin, respon inilah yang kita sebut sebagai agama. Makanya tidak heran kita melihat begitu banyak agama di dunia, karena memang respon manusia ketika melihat wahyu ini berbeda-beda. Secara eksternal, respon tersebut menghasilkan budaya. Kita juga melihat kebudayaan begitu berbeda di berbagai daerah dan belahan dunia. Pakaian, bahasa, dan kesopanan orang Bali dengan Batak berbeda, Papua dengan Aceh juga beda. Di dalam budaya ada seni, di dalamnya seni tari, pahat, lukisan, dan musik juga termasuk. Jadi, kita dapat katakan bahwa musik adalah salah satu bentuk respon manusia terhadap wahyu umum Allah. Setiap daerah berbeda cara bermusiknya. Ketika mereka lihat pegunungan dan keindahannya, mereka membuat lagu. Ketika sedang dalam keadaan peperangan, lagunya juga dibuat untuk mendukung ataupun bentuk protes terhadap perang itu. Ketika seseorang jatuh cinta, ia juga mengungkapkan responnya dengan musik, yang isinya tentang keindahan dari kekuatan cinta yang Tuhan berikan.
Meskipun demikian, apakah musik sekedar respon manusia? Tidak juga, karena sebelum manusia diciptakan, musik pasti sudah ada. Di dalam Wahyu 5:9 dikatakan sudah ada nyanyian di surga. Bahkan, Lucifer dipercaya sebagai malaikat di bidang musik. Akan tetapi, di dalam kronos atau sejarah dunia ini, Allah tampaknya tidak membuat musik itu sesuatu yang sudah jadi, seperti halnya tidak ada beef dan chicken teriyaki yang akan kita temukan begitu saja di dalam sebuah peternakan sapi dan ayam. Seseorang harus membuatnya bukan? Begitu juga dengan musik, Allah tampaknya tidak menaruh alunan melodi dan harmoni atau sebuah lagu begitu saja di dalam dunia, tetapi hanya menyiapkan material raw nya saja: ada suara burung, ombak laut, tetesan air, suara lumba-lumba, tiupan angin, dan juga kayu dari pohon yang akan digunakan untuk membuat sebuah alat musik. Nada juga sesuatu yang natural dan berasal dari Allah, karena tidak ada manusia yang menciptakan sebuah nada, mereka hanya menemukannya. Bahan-bahan itulah yang harus masuk ke dalam otak manusia, dicerna, diproses, baru menjadi sebuah musik. Bunyi-bunyian saja tidak dapat disebut sebagai musik, sampai ia diproses oleh seseorang dan membentuk alunan melodi dan memiliki ritmik. Sukahardjana mengatakan, bagi manusia, musik baru disebut sebagai musik, jika ia masuk ke dalam pikiran manusia, karena suara musik yang sama yang masuk ke dalam telinga seekor anjing, tidak akan dicerna sebagai musik. Kompleksitas otak manusia dan estetika yang dikaruniakan Allah, memampukannya untuk mengenal bunyi-bunyian dan menyusunnya sebagai karya musik. Bahkan, tanpa alat musik pun seseorang bisa menciptakan musik di dalam pikirannya. Betapa hebatnya karya ciptaan Allah ini!
Bernedetto Croce mengatakan bahwa seni itu abstrak, hanya berada di dalam mental atau pikiran si seniman. Musik itu abstrak, bukan sesuatu yang konkret. Oleh karena manusia yang menyusun musik dalam pikirannya, musik sangat ditentukan oleh si musisi itu sendiri. Setelah ia memikir-mikirkan ide musik di dalam otaknya, ia mulai mencurahkannya lewat media atau alat yang dapat merealisasikan pikirannya itu menjadi sesuatu yang konkret. Apa yang ada di kepalanya, menjadi sebuah kenyataan atau realitas objektif. Karya musik itulah yang menjadikan dia seorang musisi. Jadi, kalau musik itu di dalam pikiran manusia, berarti piano, gitar, drum, gamelan, violin itu apa? Mereka bukanlah musik, tetapi alat musik. Alat musik bukanlah musik itu sendiri, tapi hanya alat untuk menyalurkan ide musisinya. Alat itu dibuat sengaja untuk membuat musik di pikiran musisinya menjadi sesuatu yang konkret. Saya sangat dicerahkan oleh Victor Wooten, salah satu bassist terbaik di dunia, mengatakan bahwa “music comes from musician, not instrument.” Kalimat ini sangat penting dan selalu saya bagikan kepada mahasiswa yang saya ajar, agar mereka mengerti bahwa yang harus dibangun kualitasnya adalah mereka sendiri sebagai musisi, karena musik lahir dari manusia, bukan alat musik. Banyak orang yang menabung bertahun-tahun untuk membeli instrumen yang sangat mahal dan bagus, karena mereka pikir “kalau alat saya bagus, pasti musik yang saya hasilkan juga pasti bagus.” Pikiran ini keliru, karena musik bukan datang dari instrumen, tapi musisi. Coba kita pikirkan, seandainya seorang Echa Soemantri diberi drum yang hanya seharga 4 juta, apakah permainannya akan buruk? Apakah ketika seorang Indra Lesmana diberi keyboard merk Casio, ia tidak bisa memainkan sebuah solo jazz yang enak didengar? Dan apakah jika seseorang baru belajar bermain drum selama sebulan diberi drum Sonor SQ2 yang harganya sekitar 100 juta akan menghasilkan musik yang baik? Saya yakin tidak, karena musik datangnya dari musisi, bukan instrumen. Saya tidak mengatakan punya alat yang bagus itu tidak penting sama sekali, tentu saja itu penting, dan kalau kita punya uang lebih, ada baiknya beli alat yang baik kualitasnya, tapi bukan itu yang semata-mata membuat anda menjadi seorang musisi handal! Tambah jam latihan, perbanyak mendengar musik yang berkualitas baik, perbanyak jam terbang bermain dengan musisi lain, baca buku-buku musik, itulah yang akan menjadikan kalian musisi berkualitas.
Pertanyaan berikutnya, jadi apakah ada musik yang tidak pantas disebut musik? Saya pribadi juga pernah mengalami kesulitan ini. Saya sempat mencap musik-musik EDM yang pernah berkembang pesat beberapa waktu lalu sebagai “bukan musik”, khususnya musik-musik EDM yang berkembang di gereja, karena begitu mudahnya mereka membuat musik tanpa disertai dengan skill yang baik. Tetapi saya berpikir kembali, apakah uang 100 rupiah bukan uang? Tentu itu juga uang, hanya saja nilainya rendah. Uang 500, 1000, 2000, juga adalah uang sekalipun nilainya tak seberapa. Jadi yang kita harus permasalahkan adalah nilai dari karya musik. Tentu saja banyak sekali faktor yang membuat sebuah musik itu dinilai tinggi dan penilaian itupun sangat subyektif tergantung dari siapa pendengarnya dan apa konteks zamannya. Dari apa yang saya baca dari sejarah musik, umumnya musik yang baru memang membuat kontroversi seperti ini dan saya tidak mau membahasnya di tulisan ini. Yang terpenting adalah belajar menghargai karya musik yang berkembang di setiap zaman. Jangan sekali-kali memberi label suatu musik dengan “ini bukan musik.” Musik yang tidak bagus dan berisi lirik yang asal-asalan pun tetap adalah sebuah musik. Permasalahkanlah nilai dari musik itu. Apalagi anda adalah seorang musisi, belajar menilai sebuah musik secara objektif (meskipun tidak mungkin sepenuhnya) dari kompleksitasnya, kerapihan permainan dari musisinya, ide atau kreativitasnya, atau orisinalitas musik tersebut, dsb.
Musik itu adalah anugerah Allah. Ia mengizinkan manusia mengembangkan materi-materi yang telah Ia berikan di dunia menjadi berbagai karya musik di sepanjang sejarah sampai hari ini. Kembangkanlah musik sebagai sesuatu yang mulia dan indah, pakailah untuk menyembah dan memuji Allah Tritunggal (bagi orang Kristen), dan gunakan juga untuk membagi kebahagiaan bagi masyarakat.
Leave a Reply