Sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar, saya pernah menanyakan “Siapa yang menciptakan Allah” kepada kakak saya dan ia menjawab “Allah itu Alfa dan Omega, Dia tidak diciptakan dan tidak punya akhir”. Jawaban tersebut sangat tepat dengan apa yang dikatakan Alkitab dalam Wahyu 1:8; 22:13, “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.” Namun, setelah saya beranjak dewasa dan memikirkan dengan lebih dalam, saya menyadari bahwa pertanyaan tersebut sebenarnya adalah keliru secara Teologis maupun Filosofis. Mari kita bahas satu persatu.
Secara Teologis.
Setiap orang mungkin memiliki pemahaman dasar tentang Allah secara berbeda. Di dalam agama-agama, tidak semua memiliki konsep mengenai Allah, surga, keselamatan, secara sama (untuk mengetahui lebih jelas, saya telah membahasnya di dalam artikel “Kekristenan dan Pluralisme Agama”). Pemahaman “surga” di dalam Islam berbeda dengan apa yang dipahami di dalam Kekristenan. Sura 78:31-34 menyatakan bahwa orang yang masuk surga akan diberikan anggur dan bidadari-bidadari cantik yang memiliki buah dada yang besar. Di dalam Kekristenan tidak demikian, surga adalah tempat kita akan berjumpa dan berelasi dengan pencipta kita sampai selamanya, bukan untuk kepuasan pribadi. Konsep “Nirwana” di dalam Buddhisme juga bukanlah sebuah tempat, melainkan pencapaian manusia yang berhasil menghilangkan segala keinginan. Begitu juga dengan konsep “Allah”, berbeda dalam setiap agama. Kekristenan mempercayai Allah Tritunggal, sedangkan Islam tidak. Hindu memiliki banyak dewa dan satu realitas ultimat yang tidak berpribadi, yang disebut “Brahman”. Akan tetapi, sekalipun banyak terdapat perbedaan, tetap ada persamaan-persamaan konsep yang dimiliki. Misalnya: Kekristenan dan Islam percaya kepada Allah yang kekal, Maha Kuasa, Maha Tahu, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dsb. Dan memang konsep-konsep tersebut juga secara umum dipahami oleh kita.
Mengapa pertanyaan “Allah itu dari mana” dan “Siapa yang menciptakan Allah” adalah keliru? Ketika kita menyebut kata “Allah”, maka di dalam kata tersebut sudah ada asumsi-asumsi dasar yang termuat di dalam pikiran kita tentang Allah. Dengan kata lain, memang sudah ada “muatan-muatan” yang kita asumsikan ada di dalam Allah, seperti Allah itu pasti kekal, pencipta segala sesuatu, tidak terbatas, dan sebagainya. Pertanyaan “Allah itu dari mana” mengasumsikan bahwa Allah bergerak dari suatu tempat dan menuju ke tempat yang lain. Sama seperti kita bertanya kepada teman ketika berada di dalam gereja “kamu dari mana?” maka kita memikirkan bahwa sebelum ia datang ke gereja, ada tempat A sebelumnya. “Dari mana” menyatakan ada pergerakan dari suatu tempat menuju tempat lain. Sekarang, kita mengajukan pertanyaan tersebut kepada Allah dengan bertanya Ia berasal “dari mana”, berarti kita mengasumsikan Allah dari tempat A, menuju tempat B, yaitu suatu dunia yang kita pahami saat ini. Lalu, di mana letak permasalahannya?
Sebenarnya sangat simpel. Kita dapat menyimpulkan dan tentunya setuju bahwa terdapat tiga hal yang Allah ciptakan pada mulanya (Kej.1:1), yaitu matter (materi), time (waktu), dan space (ruang). Allah adalah pencipta ruang (space), maka sebelum Allah menciptakan ruang, apakah ada ruang? Tentu tidak ada, karena Allah yang menciptakan ruang, oleh karena itu Ia sendiri tidak berada di dalam atau terbatas oleh ruang. Ketika kita bertanya “Allah dari mana” itu sangat aneh, karena sebelum Allah menciptakan ruang, maka ia tidak berada di dalam ruang atau bergerak dari tempat A menuju tempat B. Ia tidak berasal dari mana-mana. Itulah sebabnya kita mengatakan Allah memiliki atribut “Omnipresent” atau Maha Hadir. Begitu juga jika ada orang yang bertanya “Allah ada sejak kapan ya?”, pertanyaan tersebut adalah keliru, karena sebelum Allah menciptakan waktu, apakah ada waktu? Tentu tidak ada, oleh karena itu Allah sendiri tidak berada di dalam waktu. Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk yang berpribadi, yaitu manusia dan malaikat. Oleh karena itu Ia tidak diciptakan oleh siapapun, karena yang diciptakan pasti berbeda natur dari yang mencipta. Tidak ada manusia yang menciptakan manusia, ia hanya dapat menciptakan robot yang berbeda natur dari manusia. Hal ini berarti sesuatu yang menciptakan “Allah” haruslah berbeda natur dengan “Allah”. Jadi dapatkah kita berpikir siapa yang memiliki natur yang berbeda dan lebih tinggi dari “Allah” untuk menciptakan “Allah”? Dan mengapa kita perlu menyembah Allah kalau Ia sendiri adalah ciptaan dari suatu pribadi yang lebih tinggi dari Dia?
Secara Filosofis.
Aristoteles (384-322 SM) menjelaskan kepada kita bahwa segala yang kita lihat bergerak atau in motion pasti disebabkan oleh gerakan yang lain sebelumnya dan begitu seterusnya. Namun, jika hal tersebut diteruskan sampai ke belakang untuk menemukan penyebabnya, maka itu tidak akan masuk akal, karena proses tersebut tidak akan berhenti. Oleh karena itu, menurut Aristotle pasti ada penyebab atau penggerak (mover) utama yang berdiri dan yang tidak digerakkan oleh apapun, yang menjadi sumber segala sesuatu bergerak. Inilah yang disebut unmoved mover. Memang Aristotle tidak menyebut “penggerak utama” tersebut adalah Allah, tetapi Thomas Aquinas lah dalam cosmological argument nya yang memakai filsafat Aristotle tersebut pada zaman Skolastik dan menyatakan bahwa penggerak tersebut adalah Allah di dalam Alkitab.
Pemahaman tersebut dapat kita pakai untuk memikirkan pertanyaan “Allah dari mana” atau “Siapa pencipta Allah”. Jika kita mengatakan bahwa segala sesuatu adalah diciptakan, maka jika ditelusuri terus sampai ke belakang dan kita terus mengatakan “ini diciptakan oleh itu… dan itu diciptakan oleh ini…” dan seterusnya, maka kita tidak akan pernah menemukan jawaban akhir. Logika kita memang akan terus menuntut jawaban dan tidak akan pernah puas jika harus berhenti pada Allah, tetapi logika kita juga tidak akan puas dengan jawaban tanpa akhir tersebut.
Pada zaman ini, seorang Apologet Kristen terbaik dunia, William Lane Craig, mempopulerkan sebuah silogisme: 1) Segala sesuatu yang memiliki permulaan memiliki penyebab. 2) Alam semesta memiliki permulaan. 3) Maka, alam semesta memiliki penyebab. Kaum Ateis sering menyerang dengan berkata “kalau begitu, Allah seharusnya juga memiliki penyebab.” Tapi tunggu dulu, perhatikan premis pertama. Tidak dikatakan bahwa “segala sesuatu memiliki penyebab”, premis tersebut berbunyi “segala sesuatu yang memiliki permulaan memiliki penyebab.” Berdasarkan argmentasi Aristotle, sudah sangat jelas bahwa Allah tidak memiliki permulaan, maka Ia tidak memiliki penyebab. Jika kita terus menyangkalnya dan menuntut jawaban, maka pribadi yang menciptakan Allah haruslah pribadi yang berbeda natur dari Allah, lebih Maha Kuasa, lebih cerdas, dan lebih dalam segala atribut yang dimiliki Allah yang kita mengerti saat ini. Setelah itu kita akan bertanya lagi, “siapa yang menciptakan pribadi yang menciptakan Allah tersebut”, begitu seterusnya. Hal ini sangat tidak masuk akal. Mau tidak mau, akal pikiran atau logika kita harus berhenti dan mengakui bahwa Allah adalah penyebab dan pencipta segala sesuatu, yang tidak disebabkan oleh apapun.
Berdasarkan pertimbangan Filosofis dan Teologis tersebut, kita mengakui bahwa Allah, YHWH, di dalam Alkitab adalah pencipta segala sesuatu, tidak diciptakan, dan tidak berada di dalam ruang dan waktu (tentu saja Ia bisa jika Ia mau, yaitu Teofani dan Kristofani, ketika Ia menampakkan diri kepada umatnya dan inkarnasi Kristus). Ia adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Allah adalah Allah yang berdaulat dan menciptakan segala sesuatu di dalam Kristus, seperti Kolose 1:16-17 mengatakan: “karena di dalam Dialah (Kristus) telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di Sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.” Amin.
Leave a Reply